Industri keuangan paling rentan terhadap serangan siber

zawafos.com – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan ancaman keamanan siber kemungkinan akan menimbulkan risiko signifikan bagi bisnis perbankan digital selama beberapa tahun ke depan, dengan ekonomi dan keuangan digital diperkirakan akan tumbuh.

Menurut data Dana Moneter Internasional (IMF) 2020, rata-rata kerugian tahunan yang dialami sektor jasa keuangan global akibat serangan siber mencapai $100 miliar, atau lebih dari Rp 1.433 triliun.

OJK Mohamad Miftah, Direktur Riset, Departemen Riset dan Regulasi Perbankan, mengatakan industri keuangan atau perbankan merupakan atau merupakan sektor yang paling rentan terhadap serangan siber.

“Serangan siber pasti akan menguntungkan. Sampai September 2021, serangan siber di Indonesia hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2020,” kata Miftah dalam webinar yang dikutip, Kamis (13/1).

Miftah menjelaskan, sebenarnya OJK sudah memiliki regulasi keamanan siber. Bagi bank umum, ada empat pilar utama yang harus dilaksanakan. Pertama, dewan direksi dan dewan direksi diawasi secara aktif. Kedua, kecukupan kebijakan, standar dan prosedur penggunaan. Ketiga, proses manajemen risiko terkait TI. Keempat, sistem kontrol dan audit internal atas implementasi TI.

Sementara itu, dalam hal BPR, OJK juga telah menerbitkan regulasi terkait keamanan siber. Wewenang dan tanggung jawab terkait penerapan teknologi informasi, dimulai dari ruang lingkup penerapan teknologi informasi.

Selain itu, kebijakan dan prosedur teknologi informasi pengoperasian teknologi informasi, pengoperasian teknologi informasi yang bekerja sama dengan penyedia jasa, keamanan pengoperasian teknologi informasi termasuk kerahasiaan data pribadi pelanggan, dan fungsi audit internal atas pengoperasian teknologi informasi.

Namun, dia mengatakan kemungkinan penyergapan akan meningkat pada 2022. Selain aturan pencegahan serangan siber, literasi dan edukasi nasabah bank tentang risiko serangan siber juga harus ditingkatkan.

“Hal ini karena dengan kemajuan teknologi saat ini, semakin mudah orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk menemukan dan menemukan kelemahan nasabahnya. Oleh karena itu, edukasi dan literasi pengguna jasa perbankan harus ditingkatkan,” ujarnya.

Baca Juga:  Larangan Ekspor Batubara, Bahlil Tidak Akan Pengaruhi Investasi

Dalam kasus yang sama, Andri Medina, general manager unit bisnis Keamanan Informasi BNI, mengatakan serangan siber melihat tren naik dan turun selama pandemi 2021. Serangan siber meroket dalam tiga bulan pertama tahun 2021. Namun, pada akhir tahun 2021, serangan telah menurun.

Dia menjelaskan, beberapa serangan siber dilakukan oleh phisher atau orang yang menipu nasabah bank. Salah satu yang merajalela adalah adanya domain palsu. Misalnya, ada beberapa orang yang menerima link phishing dan kemudian diperintahkan untuk membuka domain tersebut.

Ada juga serangan siber dan penipuan yang menargetkan media sosial. Di media sosial, pelaku membuat beberapa akun media sosial palsu yang menyerupai akun asli. Ia kemudian mengaku seolah-olah mengaku sebagai pengelola lembaga tersebut.

“Jika tidak waspada, pelanggan Anda akan menjadi korban karena akan ditarik atau terjebak oleh tipu muslihat orang-orang yang tidak bertanggung jawab,” kata Andri.

Sebagai bentuk mitigasi, ia mengimbau kepada nasabah untuk mewaspadai aktivitas anomali ponsel, menahan diri untuk tidak membagikan nomor telepon di media sosial dan mengatur pembatasan transaksi. Ini memastikan bahwa kata sandi yang sama tidak dapat digunakan di beberapa aplikasi, tidak ada data CC yang disimpan dalam aplikasi e-niaga, dan tidak ada OTP yang diteruskan ke pihak lain, termasuk bank.

“Saat ini perbankan sedang bergerak menuju digitalisasi. Pandemi COVID-19 membuat proses perbankan menuju digitalisasi menjadi lebih cepat. “Kita perlu meningkatkan ekspektasi untuk serangan siber,” pungkasnya.

Redaktur: Bintang Pradeo

Reporter: Romeis Vinekasri



Terimakasih Ya sudah membaca artikel Industri keuangan paling rentan terhadap serangan siber

Dari Situs Fikrirasy ID