di luar peraturan daerah

Mendekati 2022, ada evaluasi yang harus tercermin dalam kebijakan pemerintah daerah yang cenderung mengurangi esensi dari tujuan penciptaan lapangan kerja yang direncanakan pemerintah. Undang-Undang Penciptaan Lapangan Kerja 11/2020 bertujuan untuk membantu memfasilitasi bisnis dalam lingkungan investasi yang kompetitif. Namun dalam praktiknya, pemerintah daerah dalam kesepakatan daerah cenderung menentang dengan dalih meningkatkan pendapatan intrinsik daerah tanpa memahami konsekuensinya untuk tujuan memfasilitasi investasi di daerah dan Indonesia.

Salah satu peraturan yang membatasi sifat tujuan penciptaan lapangan kerja adalah kebijakan pemerintah daerah tentang penggunaan real estate lokal di sektor air, listrik dan telekomunikasi, yang membebankan tingkat pemanfaatan yang tinggi dan menciptakan lingkungan untuk investasi biaya tinggi. Prioritas diperlukan selama epidemi.

Kebijakan pemerintah daerah tersebut lebih merupakan upaya peningkatan pendapatan asli daerah melalui konsep sewa real estate daerah untuk jaringan air, listrik, gas dan telekomunikasi karena dianggap usaha yang menggunakan tanah. Di sektor jaringan komunikasi, pemda menggunakan alasan ‘jaringan komunikasi berada di atas lahan milik pemda’. Yang sebenarnya digunakan bukanlah tanah yang biasanya timbul dari persewaan.

Alasan mengapa pemerintah daerah luar biasa adalah bahwa milik daerah berupa tanah di air, listrik, dan jaringan komunikasi tidak digunakan untuk keuntungan di tanah, tetapi tidak di bawah jaringan bawah tanah. Selain itu, barang milik daerah berupa tanah yang digunakan sebagai jaringan berfungsi sebagai fasilitas utilitas yang digunakan oleh semua pihak, seperti jalan.

lebih dari penawaran

Pemungutan biaya penggunaan barang milik daerah dari semua operator air, listrik, dan telekomunikasi yang menggunakan jalur tanah milik pemerintah daerah sebagai dasar hukum hanya merupakan usulan pemerintah daerah. Artinya, alasan adalah perasaan yang lebih subjektif yang tidak didasarkan pada pertimbangan hukum yang objektif dan masuk akal.

Dari sudut pandang analisis kebijakan dan hukum keuangan publik, pengenaan bea masuk atas penggunaan, termasuk penggunaan aset, harus didasarkan pada ‘alasan hukum yang masuk akal’ dan ‘alasan faktual yang memadai’ untuk kepentingan pemungutan. Akibatnya, kondisi kebijakan mengangkat dua hal.

Pertama, tarif pemanfaatan hanya dikenakan oleh interpretasi kepala daerah sendiri tentang tujuan pemanfaatan barang milik daerah tanpa memahami makna pemanfaatan.

Pasal 1(10) Peraturan Pemerintah (PP) 27/2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (PP) menyatakan bahwa barang-barang yang tidak terpakai, seperti rumah atau tanah, yang biasanya digunakan untuk pelayanan publik dan administrasi pemerintahan, dapat dimanfaatkan. . Di sisi lain, bagian ‘bawah tanah’ tempat jaringan komunikasi berada adalah bagian yang sejak awal tidak ingin digunakan oleh pemerintah.

Hal ini berbeda dengan bangunan yang dibeli dengan dana APBN/APBD tetapi tidak digunakan dan disewakan kepada swasta. Apalagi kinerja jaringan telekomunikasi tidak mengganggu (atau setidaknya berdampak minimal) fungsi jalan raya di atasnya.

Sejak itu, kesalahan penerapan undang-undang penggunaan jaringan komunikasi bawah tanah yang diterapkan pada kontrak sewa merupakan administrasi yang maladaptif, membebani kepentingan warga negara dan hukum perdata. Tindakan pejabat tersebut bukan merupakan tindakan hukum yang bijaksana karena penerapan dan pemanfaatannya tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan. Akibatnya, biaya bisnis air, listrik, dan telekomunikasi, terutama yang tidak ditanggung oleh subsidi negara, menjadi mahal.

Baca Juga:  Bom Waktu Utang AS

Pada awal Desember 2020, mahalnya biaya telekomunikasi di Indonesia, khususnya Internet, disebutkan oleh Menteri Koordinator Bidang Penanaman Modal Maritim. Salah satunya adalah dampak regulasi biaya tinggi terhadap pembangunan jaringan telekomunikasi yang diatur pemerintah. pemerintah lokal.

Kedua, mahalnya biaya Internet karena penerapan tarif oleh pemerintah daerah pada jaringan telekomunikasi yang tidak didasarkan pada nilai ekonomi dan tidak memperhatikan dampak tarif terhadap masyarakat. Pemerintah daerah harus menganalisis dampak tarif terhadap komunitas mereka, dengan memperhatikan filosofi utama dari pungutan wajib pemerintah: menyeimbangkan dampak pada warga negara dan kelompok sipil. Hal ini tertuang dalam klarifikasi undang-undang 9/2018 tentang pendapatan negara tidak kena pajak. Tujuannya agar pungutan pemerintah tidak memiskinkan masyarakat atau menghilangkan kemampuan pelaku usaha untuk memperoleh keuntungan yang wajar.

penyebab kelainan

Tindakan anomali oleh pemerintah daerah pada umumnya hanya bergantung pada kewenangan. Namun, tanpa memahami konsep jangka panjangnya, mereka tidak mempertimbangkan ‘realitas pemungutan’, yaitu apakah akan bermanfaat bagi masyarakat atau hanya untuk meningkatkan pendapatan daerah.

Jika kebijakan semata-mata ditujukan untuk meningkatkan pendapatan, pemerintah daerah akan melakukan pencarian sumber keuangan daerah secara akrobatik dan menempuh segala cara, tanpa memahami sifat manfaat yang dapat dicapai jika keseimbangan dampak pada masyarakat diwujudkan dengan baik. telah melakukan.

Kesalahan penegakan aturan penggunaan barang milik daerah untuk jaringan telekomunikasi di banyak daerah disebabkan kesalahan penerapan kewenangan atas bagian bawah tanah milik daerah yang digunakan untuk jaringan telekomunikasi. Dalam praktiknya, kuasa pemungutan dilakukan atas ‘fungsi’, yaitu tanah dan bangunan.

Sejauh ini, tidak ada pemerintah daerah yang pernah berfungsi di bawah tanah untuk kegiatan administrasi dan pelayanan publiknya. Menurut PP 27/2014, kesalahan dalam penerapan kewenangan ini tidak mengarah pada keputusan penggunaan bawah tanah sebagai milik daerah yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. Terkait kesalahan dalam penerapan kewenangan tersebut, Menteri Dalam Negeri berwenang untuk mengingatkan pejabat daerah terkait sesuai dengan Pasal 56(1) UU 30/2014 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan.

solusi ideal

Upaya pemecahan masalah dapat diatasi dengan dua cara. Pertama, ini adalah solusi administratif di lingkungan administrasi. Kedua, upaya penyelesaian hukum di lingkungan peradilan. Upaya pertama dapat dilakukan dengan modifikasi oleh badan pemerintah yang lebih tinggi (Menteri Dalam Negeri). Sekda memiliki kewenangan untuk mengajukan dan mengembangkan perubahan peraturan yang akan membebani warga masyarakat. Warga atau kelompok masyarakat dapat mengajukan pengaduan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Inspektur Jenderal Kementerian Dalam Negeri.

Dalam upaya kedua, masyarakat dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung sehubungan dengan penerapan aturan yang bertentangan dengan PP 27/2014 dan bertentangan dengan tugas pejabat pemerintah untuk melakukan dalam pengambilan keputusan seperti: Itu bertentangan dengan undang-undang 30/2014.

Kedua upaya tersebut merupakan solusi yang lebih baik yang memberikan kepastian hukum bagi semua pihak. Hal ini harus memastikan bahwa tidak ada anomali kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah kepada anggota masyarakat dan pelaku usaha yang justru mengurangi atau menghilangkan tujuan menciptakan pekerjaan yang lebih bermanfaat dalam jangka panjang.




Terimakasih Ya sudah membaca artikel di luar peraturan daerah

Dari Situs Fikrirasy ID