Program utama Kemenag, yakni tata krama beragama, mendapat pro dan kontra dari kalangan akademisi. Secara umum, tanggapan yang menyimpang berkisar pada persepsi bahwa pemerintah mengintervensi semacam masalah agama yang tidak boleh diintervensi. Agama adalah soal kebebasan beragama yang dijamin oleh negara. Oleh karena itu, negara tidak dapat melarang warganya untuk memeluk agama atau sekte tertentu atau berpindah ke agama lain (kebebasan berserikat dan menarik diri).
Terserah orang untuk menerima atau meninggalkan Islam. Hal yang sama berlaku untuk masuk Kristen atau meninggalkan Kristen ke agama lain. Warga negara juga bebas untuk bergabung atau meninggalkan sekte agama tertentu. Anda bebas bergabung atau keluar dari NU, Muhammadiyah, Persis, LDII, MTA, Salafi, JIL, tarekat, Jamaah Tabligh, pengajian Masjid, majelis Talim dan golongan apapun, Hizbut Tahrir, kecuali dilarang atau bermasalah hukum seperti Indonesia (HTI) atau Front Pembela Islam (FPI).
Warga negara Indonesia juga bebas untuk melihat dan berpakaian menurut pandangan aliran agama. Sama seperti memakai celana pendek (walaupun memakai jas dan dasi) untuk pendukung Salafi, kerudung dan gaun hitam untuk wanita. Aman untuk dilepaskan saat berpindah ke aliran lain.
Sikap netral negara terhadap masalah agama didasarkan pada pengalaman sejarah yang menemukan bahwa masalah agama adalah masalah keyakinan subjektif. Keyakinan adalah ranah keistimewaan pribadi, atau yang disebut Nurcholis Madjid sebagai ‘anugerah utama’. Dia berada di lubuk hati terdalam yang tidak bisa dimasuki oleh orang atau kelompok lain. Karena tidak terlihat, tidak dapat dinilai dari apa yang terlihat. Orang lain yang ingin berubah itu didasarkan pada apa yang terjadi ketika mereka berhasil.
Faktanya, apa yang tidak terlihat menentukan apa yang ada di hati. Bisa saja orang menjadi Muslim, tetapi mereka bukan Muslim. Atau memiliki atribut agama lain, tetapi bukan penganut agama itu. Suatu ketika, ketika artis sedang makan di sebuah restoran di Sidoarho, dia menemukan seorang wanita bercadar di meja di sebelahnya. Saat makan, menggerakkan ibu jari dan menyentuh dahi, bibir, dan dada dalam doa adalah gambaran orang Kristen. Artinya, penampilan tidak sepenuhnya mengekspresikan identitas, apalagi kualitas agama. Ketika negara mengintervensi agama, itu menjadi jelas. Dia akan tertipu karena hatinya tidak seperti itu.
Selain tidak kasat mata, agama juga sarat tafsir dalam hal-hal yang fundamental (akida). Tauhid adalah prinsip utama Islam lintas denominasi. Artinya, semua sekte besar dan kecil Islam dan semua varian di dalamnya setuju dengan tauhid sebagai doktrin utama.
Namun, konsep tauhid secara rinci tidak persis sama. Dalam sifat ketuhanan tidak identik antara mazhab Sunni (antara Asy’ariyah dan Taimiyah) dan Mu’tazilah dan Syi’ah. Jika ada perbedaan dalam aqidah, terutama dalam tata cara ibadah, syariah seperti mu’amalat, munakahat dan siyasat, banyak juga perbedaan di dalamnya. Jika negara mencampuri urusan agama, ia akan terjerumus ke dalam belantara perbedaan internal dan antaragama yang kompleks serta pemborosan energi.
Banyaknya agama dan sekte dalam suatu agama menuntut pengembangan dakwah agama bersama dengan berbagai sekte karena mereka semua memiliki hak atas kebebasan, yang mempengaruhi perubahan demografis sekte-sekte tersebut. Di Indonesia, dakwah salafi yang aktif melalui televisi, radio dan media sosial mampu merekrut anggota baru dari Indonesia. Akibatnya, saudara dan saudari Muslim muncul untuk wanita dengan celana pendek dan kerudung. Sebuah adegan baru di mana pakaian sopan, sarung, dan peci mendominasi dan menjadi budaya Islam Indonesia.
pengecualian
Bisakah kita melarang gerakan sekte yang dimaksudkan untuk mengubah ekspresi keagamaan dari ‘Indonesia’ menjadi ‘Arab’? Tentu tidak bisa didasarkan pada prinsip kebebasan beragama. Seorang teman yang dulunya bercadar dan kini melepasnya, dengan tegas menolak pandangan negatif perempuan bercadar. Baginya, ini adalah pilihan pribadi yang harus dihormati. Sama seperti dia bebas melepas jilbabnya, wanita lain juga bebas memakai jilbab. Sikap adil yang harus diterapkan sekalipun berarti mengubah kepentingan mayoritas menjadi kepentingan minoritas.
Kelompok yang menolak program pantangan agama menuduh program tersebut menyasar kelompok yang tampaknya bukan orang Indonesia atau secara akademis ‘di luar konteks’. Atau kalau mau lebih spesifik, menteri agama NU yang mengusung Islam Nusantara ini ingin menggunakan tangan pemerintah untuk mengerem laju chinkrang dan cadar melalui program arbitrase. melawan aturan masyarakat sipil Dimana pemerintah dilarang ikut campur dalam urusan agama.
Baik dalam seminar maupun lokakarya, sumber pertarakan religius membantah tuduhan tersebut. Program ini bukan tentang menenggelamkan celana dan cadar, ini tentang menangani isu-isu solidaritas etnis. Artinya, ada fenomena sosial keagamaan dan model keagamaan eksklusif yang dapat merusak persatuan dan kesatuan negara.
Perspektif yang menciptakan sekat-sekat sosial yang seharusnya tidak ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang pluralistik. Munculnya rumah-rumah syariah, yang penghuninya harus beragama Islam, dan kampung-kampung perempuan berhijab, di mana perempuan yang tidak berhijab tidak bisa tinggal di sana. Hal inilah yang melatarbelakangi munculnya program pantang agama. Ini adalah fenomena agama yang jika dibiarkan akan terus tumbuh dan menjadi tumor.
Interaksi sosial yang seharusnya cair malah dibekukan dan terhambat. Hambatan atau ketidaknyamanan yang diciptakan oleh ideologi agama tertentu menghalangi orang untuk lewat dengan bebas. Merajalelanya kebebasan beragama telah menimbulkan riak-riak yang menuntut keberadaan negara untuk memurnikannya.
Terimakasih Ya sudah membaca artikel Arbitrase Keagamaan vs Kebebasan Beragama
Dari Situs Fikrirasy ID